Penggemar fotografi sekarang banyak bermunculan seperti jamur di
musim hujan. Di tempat umum, kita bisa menemukan banyak orang yang
berjalan-jalan sambil membawa kamera DSLR atau toycam yang dikalungkan
di leher. Di taman bermain, di mall, di daerah kota tua, cagar alam, dan
tempat umum lainnya. Umurnya juga bervariasi. Mulai dari remaja labil
sampai om-om yang kepalanya sudah botak dan berperut buncit.
Mumpung sedang banyak peminatnya, maka saya ingin berbagi pengalaman
seputar pengalaman saya memasuki dunia fotografi. Judul tulisan ini pun
sengaja saya pilih karena setelah saya cek, termasuk kategori top search
di Google. Yah, siapa tahu saja nanti ada yang baca. Kan lumayan.
Saya tidak akan bicara teknik dan sebagainya disini. Biarlah itu jadi
jatahnya teman-teman fotografer lain yang mengaku profesional. Mereka
(mungkin) lebih kompeten dalam urusan teknis. Saya sih, tergolong
biasa-biasa saja. Profesional bukan, amatir pun tidak.
Wah, jadi kepanjangan prolognya. Langsung to the point saja. Inilah
hal-hal yang sebaiknya dipertimbangkan sebelum memasuki dunia fotografi.
Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, cuma mau memberitahu apa yang
harus dipersiapkan saja kok…
1. Punya otot leher yang kuat
Ini adalah persyaratan utama, makanya saya simpan di nomer 1. Kenapa?
Karena kamera DSLR itu lumayan berat. Apalagi kalau sudah ditambah
aksesori tambahan seperti flash dan battery grip. Belum lagi kalau
kameranya dipasangi lensa tele yang besar, panjang dan berat. Tidak
percaya? Coba saja kalungkan kamera DSLR + flash + battery grip + lensa
70-200 mm lalu biarkan selama satu jam. Dijamin leher anda akan terasa
sakit. Hehehe..
2. Otot-otot lainnya juga harus kuat
Kenapa? Kalau tidak sedang dikalungkan, kamera pasti dimasukkan ke
dalam tas. Yang tersiksa bukan cuma otot leher juga, tapi juga otot bahu
dan punggung yang harus menopang tas berisi kamera tersebut. Kaki juga
lama-lama akan terasa pegal karena membawa tambahan beban yang cukup
lumayan.
3. Kuat modal
Harga kamera dan peralatannya tergolong mahal. Kamera DSLR second
saja harganya minimal 3 juta ke atas. Kalau menyewa pun, harganya
berkisar dari 200 ribu per harinya. Kalau modalnya kulit badak, bisa
saja meminjam kamera teman setiap akan memotret. Cuma, urat malu kita
harus dipotong terlebih dahulu.
Kalau tidak punya modal membeli dan malu meminjam kamera, cobalah
untuk bekerja di industri yang berhubungan erat dengan dunia fotografi.
Misalnya di media cetak, media elektronik, advertising, dll. Biasanya
tempat-tempat seperti ini punya kamera inventaris untuk dipakai bekerja
oleh karyawannya. Cuma, mau tak mau harus punya modal skill dan mental
yang cukup untuk bertahan disana.
Menjadi fotografer tidak selalu harus memiliki kamera. Saya pribadi
tidak memiliki kamera. Bahkan kamera pocket pun tidak. Saya setiap hari
memotret memakai kamera kantor. Gratis, dan dibayar pula. Hehehe..
4. Jangan asal jepret
Saya sering menemukan orang-orang yang ‘trigger happy’ dengan
kameranya. Memotret dengan mode ‘burst shooting’ sehingga kameranya
berbunyi seperi senapan mesin. “Klak! Klak! Klak! Klak! Klak!” Tapi
waktu saya mengintip orang itu mem-preview hasilnya, tampak kalau
hasilnya sama saja dengan memotret memakai kamera handphone. Buram,
blur, dan tidak jelas.
Padahal, pada kamera DSLR dikenal istilah ‘shutter count’ alias
berapa kali sudah kamera itu dipakai memotret. Setelah sekian puluh ribu
jepretan, shutter unit akan rusak dan harus diganti. Dan minimal
harganya sekitar 1 juta, makanya sayang kalau dihabiskan untuk memotret
dengan sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar